TIM PKM-RSH FPIPS MENCETUS MODEL TEOLOGI INKLUSIF BERBASIS NILAI-NILAI MODERAT UNTUK REDAM KONFLIK AGAMA DI ERA DIGITAL

Program Kreativitas Mahasiswa menjadi ajang rutin yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali oleh Kementrian Riset dan Teknologi. Khususnya di bidang Riset Sosial Humaniora, PKM hadir untuk memberikan kontribusi solusi berbasis riset atas permasalahan yang terjadi di masyarakat. Salah satu isu yang seolah tidak pernah habis dibahas adalah mengenai konflik atas nama agama, yang seiring berjalannya waktu sudah merambah juga ke media sosial.

Tim yang beranggotakan Qolbi Mujahidillah (Pendidikan Sosilogi 2020), Sansa Bunga (Pendidikan Sosiologi 2020), Sarah Annisa (Ilmu Komunikasi 2020), dan Widia Lestari (Ilmu Pendidikan Agama Islam 2019), yang dibimbing langsung oleh Bapak Pandu Hyangsewu, M.Ag., tertarik untuk meneliti terkait isu konflik agama di era digital dan menemukan terobosan baru berupa model teologi—di mana hal ini bisa menjadi suatu paradigma baru di masyarakat untuk “menghadapi” bangsa Indonesia yang majemuk dari sisi agama.

Setelah melakukan wawancara yang mendalam dengan tokoh akademisi, yang salah satu guru besar di Ilmu Pendidikan Agama Islam, Bapak Prof. Dr. H. Endis Firdaus rumusan mengenai solusi atas konflik agama yang terjadi harus berpijak pada sikap moderat, menerima budaya yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, menerima dan terbuka terhadap pandangan selain dari agama yang diyakininya, dan sikap inklusivisme dengan tidak merendahkan dan menghina penganut agama lain di dunia maya ataupun nyata.

Dalam point penting penerimaan Budaya dikatakan, “Budaya merupakan hasil kreativitas manusia yang diturunkan oleh nenek moyang. Islam berinteraksi dengan budaya-budaya tersebut dengan prinsip ajaran agama Islam menjadi sesuai. Adapun budaya yang diperbolehkan oleh Islam memilii dua dimensi, yaitu aspek budaya dan ajaran.” Tutur Prof. H. Endis Firdaus kepada Qolbi Mujahidillah.

Atas dasar berpikir itulah, tim Peneliti PKM-RSH mencetus suatu terobosa model teologi inklusif yang memiliki point-point: 1) Sikap Moderasi dalam Beragama; 2) Sikap Pluralisme; dan 3) Sikap Inklusivisme dalam beragama. Model inilah yang kemudian akan dikenalkan kepada masyarakat untuk membangun kerangka berpikir yang utuh tentang cara menangkal konflik agama di era digital.

Sebagai sampel awal, peneliti melakukan uji coba model teologi yang telah dirumuskan kepada 100 orang gen Z di Kota Bandung, dengan menggunakan skala 1 – 4 untuk menunjukkan bentuk kesepakatan masyarakat gen Z. Hasil dari keseluruhan instrumen yang dibuat, rata-rata penerimaan masyarakat gen Z adalah 3.38 yang itu berarti mereka setuju dan sepakat model teologi inklusif yang dibuat oleh Tim PKM-RSH mampu dijadikan resolusi konflik beragama. Selain itu, 71 dari 100 responden menyatakan “Sangat Setuju” bahwa setiap agama memiliki prinsip nilai ajaran yang sama, 23 responden menyatakan setuju, dan sisanya tidak setuju. Hal ini menunjukkan, dari kalangan gen Z pun sudah menyadari sikap inklusivisme ini sangat dibutuhkan untuk menghadapi ragam keberagamaan yang ada di Indonesia.

Harapannya, lewat penelitian ini, di masa yang akan datang model teologi inklusif berbasis nilai-nilai moderat ini mampu lebih dikenalkan kepada masyarakat selainnya lewat platform media sosial, agar semakin banyak orang yang tersadarkan akan pentingnya “menjaga” sikap dan terbuka terhadap pandangan agama lain dalam konteks ke-Indonesiaan. Dengan cara seperti inilah, konflik atas nama agama bisa diminimalisir, dan seluruh elemen masyarakat berintegrasi untuk kemajuan bangsa.

Ditulis oleh: Qolbi Mujahidillah S A, Sansa Bunga Agista, Sarah Annisa F, Widia Lestari, Pandu Hyangsewu

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *